jatinangor

Havel dan Kafka,

Lima tahun berlalu sejak kedatangan terakhirku. Selasa kemarin, aku kembali menghirup udara Jatinangor. Sore sampai selepas Isya. Langit mendung. Tapi, gairah dan geliat kawasan itu tak terbantahkan. Lampu-lampu berpendar di kanan dan kiri jalan. Gerai-gerai perniagaan, kios-kios internet, rumah kos-kosan. Anak-anak muda bertebaran.

Mal pun telah berdiri: Jatinangor Town Square dan Padjadjaran Plaza. Wuiih, jentera kapitalisme berputar kencang. Kaum romantis-nostalgis mengutuk, bersikeras ingin mengonservasi keadaan. Namun, seberapa mungkin melawan arus perubahan?

Semua berhulu pada keputusan petinggi Jawa Barat yang menetapkan eks perkebunan karet itu sebagai kawasan pendidikan. Luasnya hampir seribu hektare. Sejak awal 1990-an, sejumlah kampus mulai menempati. Berangsur-angsur.

Pedesaan bersalin rupa, norma-norma tua disubversi. Aku pernah mendengar cerita berikut di sebuah radio swasta. Suatu kali, ada luapan air got di sekitar lingkungan kos-kosan. Rupanya, sampah menghalangi. Maka, selokan itu dibersihkan. Tahukah apa yang banyak diperoleh dari pengerukan tersebut? Kondom. Bekas, tentu saja.

Masih terngiang tuturan teman-teman muda di kampus: “Anak-anak berubah banyak, Kang. Sukanya musik dan film aja. Gak banyak yang suka politik.” Aku hanya tersenyum, menahan diri untuk berkomentar. Ah, aku membatin, dari dulu yang suka hal-hal “serius” juga minoritas. Buku, pesta, dan cinta.

Malam kian matang. Rasa rindu pada kalian tiba-tiba datang menyerang dan aku ingin cepat pulang. Saat lepas dari pintu tol Cileunyi, gerimis beraksi. Lalu, perlahan-lahan, menjadi hujan lebat. Ingatan pada Jatinangor terus melekat…

jatinangor

7 thoughts on “jatinangor

  1. Yang suka hal ‘serius’ bukan minoritas, lebih sedikit lagi. Karena yang demen hal ‘serius’ dulu itu cuman elu sendiri aja Yus…kite yang lain mah asik-asik aja, suka musik ama pilem…he..he

    Ngapain lu ke kampus?

  2. Oki says:

    Budak FIsIP, ada yang suka Genjring, ada yang serius, ada yang mabok, ada yang judi dll . Tapi emang sekarang mah cari mahasiswa yang mau ngobrol seriuz soal politik teh makin jarang. Tapi bukannya dari dulu emang begitu ? Toh kenyataan kalau ada pentas seni musik selalu dihadiri banyak mahasiswa dibanding seminar datau diskusi … 😀 Salam Oki eks Fisip Unpad

  3. wah pasti “mantan” anak didiknya pa Sahala.. salam kenal, saya juga pernah di dosenin beliau di kampus dago pojok.. nice writings anyway..

Leave a reply to yus ariyanto Cancel reply