muhammad di tangan ramadan

Havel dan Kafka,

Asyik juga membaca Tariq Ramadan. Cucu pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan Al Banna, itu merilis In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad pada awal 2007. November ini, Serambi meluncurkan edisi terjemahannya di bawah judul Muhammad: Rasul Zaman Kita.

buku_muhammad_rasul_zamanki.gif

Biografi Muhammad sudah banyak dibuat. Di rak-rak toko buku, kita bisa memergoki karya Husain Haekal, Martin Lings, Montgomery Watt, atau Karen Armstrong. Lumrah jika ada pertanyaan: apa perlunya menyusun biografi yang lain?

Sang penulis mafhum bahwa pertanyaan itu pasti muncul. Sebagai jawaban, karya ini tak menyajikan catatan rinci tentang aneka fakta sejarah, prestasi besar, atau peperangan penting dalam kehidupan Nabi. Biografi-biografi terdahulu telah menggelontorkan banjir informasi mengenai hal-hal tersebut

Fokus diletakkan pada sejumlah situasi, sikap, atau ucapan yang akan mengungkap kepribadian Nabi. Pilihan untuk menggarisbawahi peristiwa-peristiwa tertentu dan bukan yang lain didasarkan pada keinginan untuk merengkuh pelajaran yang relevan dengan era kontemporer.

Maka, kekuatan buku ini niscaya bukan pada kelengkapan kronologi, melainkan kecerdasan dalam seleksi.

Aku menemukan, misalnya, pelajaran tentang sikap toleran. Sejumlah orang Kristen Najran menemui Muhammad. Mereka ingin tahu ajaran baru yang diusungnya. Presentasi berlangsung, adu argumentasi terjadi. Lalu, mereka pun undur diri. Tak ada konversi iman. Namun, mereka dan Muhammad sepakat untuk saling menghormati keyakinan masing-masing.

Sebelum pulang, mereka minta izin beribadah. Para sahabat menolak. Tapi, Nabi berujar, “Biarkan mereka sembahyang.” Para sahabat terkesima dengan toleransi yang luar biasa ini. Tiba-tiba, aku teringat keberatan sejumlah saudara Muslim atas pendirian gereja di lingkungan mereka.

Soal hijrah, perpindahan kaum Muslim dari Mekah ke Madinah, Tariq menggambarkannya sebagai “pengasingan spiritual”. Mereka pergi meninggalkan kampung halaman, menuju diri sendiri, menuju keintiman dengan Tuhan.

“Hijrah adalah pengasingan dan kesadaran dan hati manusia dari tuhan-tuhan palsu…Memalingkan diri dari berhala zaman (kekuasaan, uang, kultus diri, dan sebagainya)…dari dusta dan cara hidup tak bermoral,” tulis ayah empat anak ini.

Kemudian, kepalaku seperti diguyur air pegunungan, saat menyimak uraian tentang kedekatan Nabi dengan anak dan cucu. Dengan Fatimah, anaknya, Nabi sangat akrab. Dan, keakraban ini ditampilkan secara eksplisit di hadapan publik. Tariq menulis, “Baik orang Madinah maupun orang Mekah terkejut melihat perilakunya terhadap anak perempuan…Nabi bisa mencium putrinya, berbicara dengannya, memercayainya, dan membiarkannya duduk di sisinya.”

Cuma, aku heran lantaran pria kelahiran Jenewa, 26 Agustus 1962 tersebut, tak mendedahkan kegusaran Nabi saat Ali bin Abi Thalib, kemenakannya dan suami Fatimah, hendak menikah lagi. Plis, deh

Dibimbing “pikiran positif,” aku akhirnya merangkai spekulasi: ah, mungkin ekspektasi itu berlebihan dan mengidap bias lokal. Aku tak sanggup melepas ingatan bahwa seorang kiyai bernama Abdullah Gymnastiar mesti mendengar keriuhan pergunjingan publik gara-gara melakoni poligami (Belakangan, ia jarang nongol di televisi dan bisnisnya konon sempoyongan).

Tariq jauh dari kegaduhan itu. Ia tinggal di Eropa. Meraih Ph.D dalam Studi Islam dan Bahasa Arab dari University of Geneva, kini Tariq menjadi Presiden European Muslim Network dan mengajar di sejumlah universitas.

Berbeda dengan sang kakek, Tariq lebih diterima kaum moderat, ketimbang kalangan puritan. “Saya tak menampik akar Islam saya, tapi saya juga tak mencerca Eropa,” ujarnya kepada TIME yang mendapuknya sebagai salah satu “inovator di bidang spiritualitas.”

Sejatinya, sampai beberapa waktu lalu, aku masih suka keliru membedakan Tariq Ali dan Tariq Ramadan (Kacau memang ayah kalian ini….). Andy Budiman, temanku yang selalu “ceria” itu, merekomendasikan untuk menikmati novel-novel Tariq Ali. Aku belum kunjung sempat.

Dan, Muhammad adalah karya Ramadan yang pertama kubaca. Ternyata, asyik juga…

muhammad di tangan ramadan

5 thoughts on “muhammad di tangan ramadan

  1. cerita ttg Muhammad selalu menarik perhatian saya.. saya berharap ada buku yang memaparkan kehidupan beliau dgn pemikiran yg lebih banyak menggunakan kesadaraan akal sehatnya yg relevan dgn kehidupan profan, bukan sekedar kesakralan (apalagi yg buta) semata.. dan tentu saja akurat.. thx utk informasi ini..

  2. ulil abshar, di milis islam liberal, pernah menulis: husain haekal berjasa ketika menulis sirah muhammad dengan pendekatan historis dan rasional; bukan mistis. saya lagi cari buku itu 🙂

  3. nant's says:

    Kang Yus,
    Husain haekal itu yang wartawan mesir yang dekat dengan presaiden jamal abdul naser bukan sih? pernah liat bukunya tapi gak yakin sama orangnya.

    thx

    Nant’s

  4. Tariq Ali, jika boleh out of topic, adalah penulis keras yang kerap garang di New Left Review. Tapi dalam tetralogi novelnya. Ia bsa jadi sangat santun dan ngemong perihal sejarah islam di eropa. Buku wajib baca mas. 🙂

Leave a reply to asri Cancel reply