cukur, sekolah, dan sepak bola

Sebuah lagu pop Indonesia, entah milik siapa, terdengar dari sebuah radio di sudut. Ruangan itu tanpa AC. Lantai penuh rambut. Lokasinya di belakang perumahan kami. Ini tarif bercukur di sana: Rp 8 ribu untuk dewasa, Rp 6 ribu untuk anak-anak.

Pagi tadi, dengan menunggang sepeda motor, saya mengajak Havel ke tempat tersebut. Surai sulung kami itu telah melewati telinga, bagian depan nyaris menyentuh mata. Hari ini kesempatan terakhir bercukur karena esok telah kembali bersekolah. Teguran guru niscaya terlontar  jika status quo dipertahankan.

Duduk di bangku kayu, saya melihat pantulan wajahnya di cermin. Havel terlihat menahan geli saat pisau itu bekerja di sekitar tengkuk. Tiba-tiba saya ngeh bahwa sang pencukur berambut agak gondrong dan… telinga kirinya ditindik. Saya lalu teringat Burhan, tukang cukur yang mendadak ingin jadi seniman gara-gara “salah gaul.” Misbach Yusa Biran menceritakannya dalam Keajaiban di Pasar Senen.

“Saya hanya mengekor, menerima saja metode dari orang-orang sebelum saya. Tidak orisinal! Bukan karya!,” kata Burhan. Lalu, ia pun memangkas rambut tokoh “saya.” Hasilnya adalah potongan rambut yang luar biasa aneh: dibelah tengah, bagian depan tersisa sedikit, bagian atas hampir tandas dibabat, bagian pinggir tetap panjang. Selain malu, “saya” dibelit kesulitan karena sang pacar menuduhnya sengaja cari perkara dengan rambut seperti itu. Duuuhhh…

Saya buyarkan ingatan dan kembali ke Havel. Ah, ia sudah kelas enam. Usianya baru 10 tahun lewat enam bulan. Sekolahnya memang rada longgar soal ketentuan umur. Ia masuk SD saat belum genap enam tahun.

Perihal namanya, tentu saja berasal dari Vaclav Havel, penulis drama yang kelak menjadi presiden Republik Ceko (dulu, Cekoslovakia) itu. Saya mulai menyimak sosok tersebut saat Goenawan Mohamad menyinggungnya dengan takzim di Catatan Pinggir pada Januari 1990.

“Ajaib, lebih ajaib dari dongeng. Dalam dongeng, perlu waktu lama buat sang korban untuk jadi pemenang. Di Cekoslovakia, proses itu begitu cepat: 41 tahun lamanya Partai Komunis berkuasa, dalam sebulan fundasinya ambruk. Dan apa kesaktian Vaclav Havel, hingga ia bisa mengalami transformasi dari-si-tertindas-jadi-si-kuasa? Hanya pada kata,”  tulis Goenawan.

Saya suka nama Havel. Enak didengar dan simpel. Pun, sejauh pengetahuan, belum ada anak Indonesia bernama Havel. Juga terkesan dengan perjalanan hidup Pak Vaclav. Konon, kata orang tua, nama adalah doa.

Belakangan, kami juga kerap berdoa semoga ia memperoleh sekolah yang layak selepas SD nanti. SMP negeri favorit terdekat dari rumah mensyaratkan 9,3 sebagai minimal rata-rata nilai ujian nasional. Ya, ia harus berikhtiar keras. Setiap kali mengingat hal itu, hati miris.

Semiris saya mendengar janji “pendidikan gratis” yang diumbar para kandidat itu. Segala yang gratis pasti disepelekan, dipandang sebelah mata. Di pihak siswa, malas belajar karena bersekolah secara cuma-cuma. Di pihak penyelenggara, tak punya dorongan untuk mengejar kualitas. Beasiswa untuk kaum miskin lebih masuk akal. Ada persyaratan yang mesti dipenuhi jika ingin mendapatkan.

Meski sesekali saya ajak bicara soal itu semua, Havel belum sampai ke sana. Isi pikirannya masih di seputar berita sepak bola, bermain futsal, atau mengamati sepatu sepak bola di YouTube. Maka, “Ayah, ini sepatu Lionel Messi,” ujarnya ketika kami mampir ke gerai Adidas di sebuah mal. Saya terperangah mengetahui harga yang di atas upah minimum Jakarta itu.

Saya pernah memberi Havel edisi bahasa Indonesia dari karya Franklin Foer, How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization. Saya tunjukkan bab tentang persepakbolaan Spanyol yang panjang-lebar membahas kisah perseteruan Real Madrid dan Barcelona. Kenapa bab itu? Karena El Barca adalah klub favoritnya. Ia pun membawa buku itu ke sekolah. Teman-temannya juga gandrung sepak bola.

Libur panjang telah tuntas. Esok, Havel kembali bersekolah. Bercukur adalah persiapan yang pantas.

cukur, sekolah, dan sepak bola

2 thoughts on “cukur, sekolah, dan sepak bola

Leave a reply to yus ariyanto Cancel reply